Mendapat Pusaka Dari Alam Ghaib - Waktu menunjukan menjelang jam12 tengah malam saat aku tiba ditempat tujuanku. Udara terasa sangat dingin, walaupun kerah baju kurapatkan tetap terasa mengigit sampai ketulang-tulang. Berdasarkan petunjuk yang kuterima, malam itu aku harus berada di Pancuran Tujuh Sukabumi tepat jam 12 tengah malam, untuk menerima benda pusaka dari alam gaib.
Situasi Pancuran Tujuh Sukabumi telah berubah jauh dibandingkan 20 tahun yang lalu., saat ini telah menjadi kebun penduduk, pohon-pohon tumbuh setinggi kepala dimana-mana.
MALAM MENJELANG TURUNNYA PUSAKA
Malam itu terasa sangat menyeramkan, sinar dari bintang2 dilangit tidak cukup terang untuk bisa melihat dengan jelas, Aku duduk bersila dengan takzimnya diantara pepohonan, rimbun daun yang bergerak tertiup angin terlihat seakan memunculkan bayangan mahluk menyeramkan dipenglihatanku. Ku-baca ayat perlindungan untuk melindungiku dari mahluk jahat maupun binatang buas, ular, kalajengking, dll. Samar-samar kulihat adikku sedang mengambil tempat sekitar 10 meter didepanku, dan disebelah kananku, Yanto sedang berusaha untuk duduk, tapi posisinya tidak memungkinkan untuk duduk karena rapatnya pepohonan.
Waktu bergerak terus mendekati jam 12 tengah malam tepat.
Tiba2 suara-suara jangkrik dan seruing mendadak berhenti, dan bulu kudukku merinding bangun, tercium bau yang harum tapi aneh, kucoba untuk konsentrasi membuka penglihatan gaibku, pasti pusaka gaib itu sudah datang. Terlihat sinar terang melesat datang dari arah timur dan kemudian berputar-putar diatas kepalaku, kubuka mataku dan melihat keatas, ternyata pusaka yang kutunggu telah datang dan sedang melayang diatas kepalaku, berbentuk kepala tombak.
TOMBAK ITU BERPUTAR-PUTAR DAN KEMUDIAN MENGHUJAM DADAKU
Setelah berputar-putar selama beberapa saat, tombak pendek itu kemudian melayang turun dan mendadak menghujam kearahku. Hatiku tercekat, rasanya aku ingin berteriak dan meloncat menghindar tapi tak kuasa bergerak karena tombak menukik tajam kearahku secepat kilat, Aku pasrah kepada Allah SWT apapun yang akan terjadi...…
Tombak kulihat menembus diriku dan menghujam ketanah dibelakangku……
Dengan berdebar-debar, kuraba dadaku yang tertembus tombak, ternyata tidak ada darah mengucur, dan tidak ada rasa sakit tertembus tombak.
Menurut perasaanku, tombak menghujam tanah tepat dibelakangku sejarak satu jengkal, kuraba kebelakang untuk memastikan keberadaan tombak, kuraba sekali, tidak ada benda apapun, dua kali, tidak ada apa-apa hanya tanah, rumput, pada yang ketiga kalinya, tanganku menyentuh benda yang ternyata adalah tombak itu.
Sebetulnya aku tidak perlu kaget karena saat tombak menukik dan menghujam kearah diriku tombak tersebut masih dialam peralihan, dari alam gaib kealam nyata, sehingga tidak akan mungkin melukaiku (masih belum mewujud nyata). Tombak baru mewujud beberapa saat kemudian.
Kuambil tombak yang ternyata telah mewujud itu dan kulihat sangat indahnya.
Saat sedang mengagumi keindahan tombak, tiba-tiba terdengar suara krontang yang keras di belakangku, suara benda jatuh di-aspal 100 meter dari tempatku bersila, sebelumnya, terlihat ada sinar melesat keluar dari tubuh Yanto, keluar dari kepalanya melayang menuju kearah timur dan ternyata mewujud jadi pedang panjang bermata dua yang aneh, dan jatuh diaspal dekat mobil diparkir. Kami semua dengan cepat berlari kearah jatuhnya pedang, karena bilamana tidak segera disentuh, pedang akan masuk kembali kealam gaib.
TOMBAK BERPAMOR WAYANG KULIT YANG INDAH
Lampu mobil dinyalakan dan tombak yang kudapat kuteliti. Tombak berpamor khusus dengan gambar wayang kulit dipamornya membuat ku geleng-geleng kepala karena indahnya dan karena seakan-akan baru saja keluar dari tungku pembuatan. Kulihat Yanto juga sedang meneliti pedang yang didapatnya dan mengagumi bentuknya yang gagah, dimana panjangnya lebih kurang Semeter lebih.
Lho mana Budi ? Dapat enggak yaa dia ? Demikian hati kecilku bertanya.
Setelah menyimpan tombakku, maka aku segera menuju ketempat Budi tadi kulihat bersila, ternyata Budi sedang berusaha mencari Kujang-nya (Keris Pasundan), yang menghujam masuk ke rimbunan semak-semak 3 meter didepannya. Setelah satu jam lebih tidak ketemu juga akhirnya kami memutuskan untuk mencarinya besok pagi saja saat terang tanah dan pulang ketempat kami bermalam di Sukabumi…….
PANORAMA PEGUNUNGAN DI PAGI HARI TERNYATA SANGAT INDAH
Pagi-pagi sekali setelah sarapan pagi ala kadarnya, maka kami pergi lagi ke Pancuran Tujuh, dan suasananya telah berubah total pada saat terang.
Rimbunan pepohonan hijau terlihat indah sekali dengan latar belakang puncak Gunung Gede kebiruan, diarea terlihat tanaman jagung, cabai, dan pohon bunga-bunga yang indah menghampar berwarna warni. Sejenak kami mengagumi keindahan ciptaan Allah SWT.
Puas menikmati keindahan alam, kamipun teringat akan benda pusaka yang belum ditemukan, setelah mencari-cari bersama beberapa saat, kujang pusaka langsung ditemukan menghujam dikerimbunan pohon tomat.
Kamipun kembali ketempat bermalam untuk meneliti pusaka-pusaka yang kami dapat, sambil mengagumi keindahannya, dan membayangkan cara membuatnya yang sangat rumit. Kupanjatkan do'a syukur kehadirat Allah SWT atas pemberian-Nya yang menakjubkan.
Beberapa nelayan yang bertelanjang dada asyik merajut jaring di atas kapal. Tidak ada aktivitas kapal berlayar di Krueng Aceh pada Ahad, 26 Desember 2010.
"Pak, kenapa tidak ada boat berlayar pagi ini, lazimnya aktivitas nelayan yang pulang atau pergi melaut untuk menangkap ikan pada pagi hari seperti di daerah lain," tanya penumpang becak motor yang mengaku dari Jakarta dan tengah mengisi liburan akhir tahun di Banda Aceh.
"Hari ini, para nelayan seluruh Aceh tidak melaut untuk mengenang kembali peristiwa tsunami enam tahun silam," kata Usman, pengemudi becak motor itu.
Mata wisatawan itu tertuju pada sebuah rumah yang di atasnya terdapat seunit perahu tidak beda dengan boat-boat yang bersandar di TPI Lampulo tersebut. "Kapal nelayan yang ada di atas rumah warga itu merupakan salah satu bukti tsunami dan orang-orang menyebutnya sebagai `perahu Nabi Nuh` yang terhempas gelombang laut enam tahun silam," kata Usman.
Saksi enam tahun lalu menyebutkan, 59 warga di atas kapal ikan nelayan yang terhempas ke daratan terselamatkan saat tsunami, 26 Desember 2004. Dan kisah para korban tsunami itu tertuang dalam sebuah buku saku yang ditulis oleh 10 dari 59 orang yang menjadi penumpang perahu nelayan tersebut, enam tahun silam. Buku saku itu berjudul Mereka Bersaksi.
Abasiah, salah seorang korban selamat, mengisahkan, saat tsunami menjangkau permukimannya di Lampulo dengan ketinggian lebih dari satu meter, tiba-tiba perahu nelayan itu muncul di hadapannya. "Waktu itu, kami sekeluarga yang masih berada di dalam rumah langsung ke luar, dan tanpa pikir panjang memanjat kapal yang sudah berada di hadapan kami," katanya.
Karena air laut yang mencapai daratan terus meninggi, sebagian warga keluar melalui atas rumah untuk mencapai kapal nelayan itu. "Itu kapal bersejarah dan telah banyak warga terselamatkan dari tsunami," kata Abasiah.
Abasiah, warga Lampulo yang rumahnya berdekatan dengan TPI itu menceritakan awal "perahu Nabi Nuh" tersebut bertengger di atas atap rumah permanen miliknya. "Awalnya, saya mengira perahu itu sengaja didatangkan untuk menyelamatkan orang-orang dari amukan air laut menerjang permukiman penduduk," katanya.
Di dalam rumah permanen yang kini masih bersemayam "perahu Nabi Nuh" itu, Abasiah tidak sendiri ketika tsunami sebab ada anak-anaknya yaitu Agin, Ghazi, Thoriq, Zalfa, dan seorang putri angkatnya, Yanti.
"Dari jendela lantai atas, saya melihat banyak boat ikan yang hanyut di depan rumah dengan kecepatan tinggi, seperti mobil-mobilan yang ditarik mundur lalu dilepaskan," ujar Abasiah.
Abasiah mengisahkan, saat itu mereka yang berada di lantai dua bangunan rumahnya, terus berdoa dan berzikir seraya saling meminta maaf karena "akan berakhirnya sebuah kehidupan". "Waktu itu tidak ada tangis, tapi wajah-wajah ketakutan sambil terus berdoa dan berzikir berharap hanya ada pertolongan dari Allah, jika memang kami masih diberi kesempatan untuk hidup," katanya.
Setelah semuanya berada di atas "perahu Nabi Nuh" itu, Abasiah dan orang-orang lainnya terus mengaji, berdoa, berzikir kepada Allah, selain menyaksikan kehancuran akibat diamuk tsunami, 26 Desember 2004. "Kami melihat kapal cepat yang membawa penumpang Pulau Sabang-Banda Aceh tidak bisa berlabuh dan helikopter terbang di atas," katanya.
Saksi peristiwa tsunami lain, Samsuddin Mahmud, mengaku bahwa ia dan beberapa orang tetangga merupakan rombongan pertama yang naik ke atas "perahu Nabi Nuh" itu. "Awalnya kami mengira bahwa perahu ini sengaja didatangkan oleh `malaikat` untuk menyelamatkan orang-orang," kisahnya.
Sebelum menaiki perahu itu, Samsuddin yang sudah berada di lantai dua rumah tetangganya mengaku ketinggian di lantai tersebut lebih satu meter dan bewarna hitam pekat. "Ketika saya sudah berada di lantai dua rumah milik tetangga, air sudah sebahu. Kemudian, tiba-tiba terlihat perahu itu dan kami langsung berebut menaikinya," katanya.
Kisah korban selamat lainnya, Erlina Mariana Rosada Sari, mengisahkan bahwa sewaktu dalam boat tersebut, sempat gelombang laut silih berganti menerjang daratan dan dalam waktu bersamaan guncangan gempa masih terasa. "Orang-orang di dalam perahu ini terus mengumandangkan azan dan berdoa. Hanya doa dan zikir yang bisa kami lakukan saat tsunami itu," katanya.
Erlina menyatakan, dari atas perahu itu menyaksikan rumahnya luluh-lantak dan daratan tanpa bekas karena sudah dipenuhi air keruh. Ibarat hamparan lautan yang luas.
"Perahu Nabi Nuh" yang tidak lagi berlayar dan tetap tegak bersandar di atas atap rumah Abasiah di gampong Lampulo. Bahkan, tidak bertuan. Kini, tempat itu dijadikan sebagai salah satu aset wisata peninggalan tsunami.
"Perahu itu menjadi salah satu objek wisata yang memiliki makna sebagai peringatan Allah, karena dengan melihat ini orang bisa berpikir tentang kekuasaan Sang Maha Pencipta yang tiada tara," kata Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa`aduddin Djamal.
"Rumah boat" atau "Perahu Nabi Nuh" yang berjarak sekitar dua kilometer dari pusat Kota Banda Aceh itu saat ini menjadi objek wisata yang menarik bagi wisatawan. Tidak hanya warga nusantara, tapi juga turis asing. Selain menyaksikan bukti fisik, para wisatawan juga bisa mendengarkan kisah-kisah unik dan ajaib dari peristiwa tsunami enam tahun silam dari korban selamat di "Rumoh Boat" atau "Perahu Nabi Nuh" itu.
Keusyik (Kades) Gampong Lampulo Alta Zaini mengatakan, warganya sudah siap menerima wisatawan yang akan berkunjung ke situs tsunami tersebut. "Perahu Nabi Nuh" yang kini bersemayam di lantai dua rumah Abasiah itu memiliki sekitar 18 meter, berkonstruksi kayu, dan kini telah dibangun tangga untuk mencapai bagian dalam boat tersebut. (ANT/SHA)